
Sore itu aku datang ke rumah Bima, temanku. Seperti biasa, kami janjian buat ngerjain tugas bareng. Tapi pas aku sampai, yang bukain pintu malah mamanya, Bu Rina.
Dia cuma pakai celana pendek tipis dan kaus ketat tanpa lengan. Rambut sebahunya tergerai, kulitnya putih mulus, dan aroma parfumnya langsung bikin aku panas. Senyumnya ramah, tapi matanya menyimpan sesuatu yang bikin aku sulit menahan diri.
“Bima keluar bentar, beli makanan. Masuk aja dulu,” katanya sambil senyum.
Aku duduk di sofa. Bu Rina ikut duduk, terlalu dekat. Aku bisa lihat jelas lekuk tetek-nya menonjol, kaus tipis itu sama sekali nggak menyembunyikan bentuknya. Aku berusaha fokus ke laptop, tapi mataku nakal curi-curi pandang.
Tangannya tiba-tiba mendarat di pahaku. “Kamu udah besar ya sekarang… udah jadi laki-laki seutuhnya,” bisiknya pelan.
Aku menoleh, menatap wajahnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mencium bibirnya. Awalnya dia kaget, tapi lalu membalas dengan penuh gairah. Lidahnya menari, saling bertaut dengan lidahku. Tangannya meraih kontol-ku yang sudah tegang.
“Hmm… ini keras banget… gede pula,” desisnya.
Aku balas dengan menyusupkan tanganku ke celana pendeknya. memek-nya udah basah. Aku mengusap pelan, membuatnya menggeliat.
“Jangan di sini… kamar…” katanya setengah berbisik.
Begitu pintu kamar tertutup, kami langsung meledak. Pakaian cepat hilang, meninggalkan tubuh panas yang saling menempel.
Aku membenamkan wajahku ke tetek-nya, menjilat putingnya yang keras, membuat dia menjerit nikmat. Tangannya mencengkeram rambutku erat. “Ahhh… terus… jangan berhenti…”
Aku turun ke bawah, menenggelamkan wajahku ke memek-nya. Basah, licin, penuh aroma panas. Lidahku sibuk menjilat setiap lekuk, membuat tubuhnya bergetar.
kontol-ku makin keras, siap masuk. Aku menempelkan ujungnya ke pintu memek, lalu menekan perlahan. “Ahhh… dalem banget…” erangnya saat kontol menembus habis.
Aku mulai ngentot, pelan dulu, lalu makin cepat. Ranjang berderit, erangan demi erangan memenuhi kamar. Tanganku meremas tetek-nya bergantian, bibirku mencium lehernya.
“Ya Tuhan… enak banget… terus hentak aku… lebih keras…” teriaknya.
Aku membalik tubuhnya, posisi doggy. memek-nya makin nikmat menelan kontol-ku dari belakang. Tubuhnya bergetar tiap kali aku menghantam lebih dalam.
Sesekali aku menyentuh anus-nya, menggesek pelan. Dia menjerit kaget bercampur nikmat. “Ahhh… jangan di situ… tapi… enak juga…”
Dia berbalik, lalu meraih kontol-ku dengan tangannya, kemudian di spong. Bibir panasnya menghisap habis-habisan, membuatku hampir muncrat saat itu juga. “Sabar… aku masih mau ngentot kamu…” kataku sambil menahan.
Aku kembali menindihnya, kali ini lebih buas. kontol-ku keluar masuk memek dengan hentakan keras. Bu Rina menjerit-jerit, tubuhnya gemetar, peluh bercucuran.
“Aku mau kamu crot… dalam aja… kasih semua ke mama…” katanya setengah teriak.
Dengan satu hentakan terakhir, aku crot’in dalam-dalam di memek-nya. Cairan panas meledak deras, tubuhnya bergetar hebat, klimaks bersamaan denganku.
Kami terkulai lemas, saling berpelukan, napas tersengal. Senyumnya puas, matanya redup tapi masih penuh gairah. “Ingat… ini rahasia kita. Jangan sampai Bima tahu…”
Aku hanya mengangguk, masih terengah. Hari itu aku benar-benar merasakan nikmatnya goyangan mama temanku, dengan setiap detik penuh gairah yang takkan pernah aku lupakan.