
Sore itu hujan baru saja reda. Aku baru pindah ke sebuah komplek perumahan, dan tetangga sebelah rumahku langsung menarik perhatianku sejak hari pertama. Namanya Maya, seorang wanita berusia awal 30-an, sudah menikah dengan seorang pria yang sering pulang malam karena pekerjaannya. Maya terkenal ramah di lingkungan, murah senyum, dan punya tubuh yang bikin kepala pusing: kulit putih mulus, wajah ayu, dan lekuk tubuh yang sempurna.
Hari itu aku baru selesai menata barang-barang ketika Maya datang membawa sepiring kue. “Selamat datang, semoga betah ya tinggal di sini,” katanya sambil tersenyum. Aku mengangguk berterima kasih, tapi mataku tak bisa berhenti melirik tetek-nya yang menonjol di balik dress tipis.
Sejak pertemuan itu, aku dan Maya sering bertemu. Kadang ngobrol di halaman, kadang ketemu saat dia beres-beres di luar rumah. Setiap kali berpapasan, selalu ada tatapan yang lebih lama dari sekadar basa-basi. Ada semacam listrik yang menyambar di antara kami.
Malam itu, hujan turun deras. Listrik di rumahku padam. Aku mengetuk pintu rumah Maya, berniat numpang sebentar. Maya membuka pintu dengan piyama tipis warna putih yang sudah sedikit basah karena keringat. “Masuk aja dulu, di sini masih nyala,” katanya.
Aku masuk, dan suasana hening. Suaminya belum pulang. Hanya ada kami berdua.
Kami duduk di sofa, ngobrol ringan. Tapi tatapan matanya berbeda. Penuh isyarat. Tanganku tanpa sadar menyentuh tangannya. Dia tidak menolak. Bahkan balas menggenggam. Jantungku berdegup kencang.
“Aku kesepian kalau suamiku sering nggak ada,” bisiknya pelan. Kalimat itu seperti kode. Aku langsung mendekat, menempelkan bibirku ke bibirnya.
Ciuman itu langsung membakar. Lidah kami saling jilat, basah, panas. Maya mendesah pelan. Tanganku menyusup ke balik piyamanya, meremas tetek-nya yang kenyal. “Ahhh…” desahnya sambil menutup mata.
Aku makin berani. Aku jilatin putingnya yang keras, membuat tubuhnya bergetar. Tangannya sibuk meraih kontol-ku yang sudah keras menegang. “Astaga… ini gede banget,” gumamnya parau.
Aku membaringkannya di sofa. Piyamanya segera tersingkap, menampakkan tubuh indah dengan bra tipis dan panties renda. Aku menurunkan wajahku ke perutnya, turun makin ke bawah, hingga akhirnya sampai di memek-nya.
Aku menyingkirkan panties-nya, langsung jilatin basahnya. Maya menjerit pelan, tangannya mencengkeram rambutku. “Ya Tuhan… enak banget… jangan berhenti…”
Aku berganti posisi, kini dia yang spong’in kontol-ku. Bibir panasnya mengisap dengan rakus. “Hmmm…” desahnya, membuatku hampir ngecrot saat itu juga. Tapi aku tahan. Aku masih ingin ngentot sama dia.
Aku bangkit, menindih tubuhnya. kontol-ku kutempelkan ke pintu memek-nya, lalu perlahan masuk. Maya menjerit panjang saat seluruh kontol-ku tertelan habis. “Ahhh… penuh banget… dalem sekali…”
Aku mulai bergerak, pelan dulu, lalu semakin cepat. Sofa berguncang, erangannya menggema memenuhi ruang tamu. Tanganku meremas tetek-nya bergantian, bibirku mencium lehernya dengan penuh nafsu.
“Ya ampun… jangan berhenti… lebih cepat lagi…” katanya setengah teriak.
Aku membalik tubuhnya, posisi doggy style. Dari belakang aku menghantam memek-nya yang basah licin. Suara basah berpadu dengan derit sofa. Maya menjerit-jerit, tubuhnya bergetar hebat. “Aku nggak tahan… aku mau muncrat…”
Aku menariknya berdiri, lalu menyandarkannya ke dinding. kontol-ku masuk lagi ke memek-nya, menghantam lebih keras. Dia memelukku erat, kukunya mencakar punggungku.
“Ahhh… aku mau mati rasanya… dalam banget… terus…”
Kami berpindah ke lantai. Maya naik di atas, mengendalikan kontol-ku. tetek-nya berguncang liar saat ia naik turun. Aku isap putingnya, membuat erangannya makin liar.
“Aku mau kamu crot’in didalam… kasih semuanya ke aku…”
Dengan satu hentakan terakhir, aku meledak deras di dalam memek-nya. Cairan panas mengisi, membuat tubuhnya bergetar hebat. Dia menjerit panjang, klimaks bersamaan denganku.
Tubuh Maya masih terbaring lemas di lantai ruang tamu. Napasnya tersengal, rambutnya berantakan, wajahnya memerah bercampur keringat. Aku sendiri masih sulit menahan degup jantung setelah ngecrot deras di dalam memek-nya barusan.
Tapi malam itu ternyata belum selesai. Maya memandangku dengan mata setengah terpejam, tapi tatapannya penuh api. Tangannya kembali meraih kontol-ku yang masih setengah tegang. “Belum selesai kan?” bisiknya dengan senyum nakal.
Aku terkejut tapi juga makin panas. Dalam hitungan detik, darahku sudah kembali mengalir deras. kontol-ku bangkit lagi, keras dan siap untuk ronde berikutnya.
Maya bangkit perlahan, lalu menarik tanganku. “Kita ke kamar. Aku nggak mau suamiku curiga kalau lihat sofa berantakan.” Dia terkekeh kecil, tapi nafasnya masih berat.
Aku mengikutinya ke kamar utama. Begitu pintu terkunci, suasana makin mendebarkan. Maya mendorongku ke ranjang besar, lalu naik ke atas tubuhku. Piyamanya sudah entah di mana, hanya tersisa bra tipis yang segera ia lepaskan sendiri. tetek-nya langsung mengguncang di depanku.
Aku meraih, meremas, lalu isap putingnya bergantian. “Ahhh… kamu nakal banget…” desahnya sambil menggoyangkan pinggulnya, menggesekkan memek-nya yang basah di atas kontol-ku yang menegang.
Dia menurunkan tubuhnya perlahan, membiarkan kontol-ku masuk kembali ke dalam memek-nya. Suara basah terdengar jelas saat ia duduk penuh di atas batangku. “Astaga… dalam banget… aku suka sekali…” jeritnya.
Maya mulai menggoyang pinggul, naik turun perlahan, kemudian makin cepat. tetek-nya berguncang liar, aku meremas keduanya sambil mendesah. “Ya Tuhan, Maya… kamu gila…”
Dia menunduk, mencium bibirku dalam-dalam, lidahnya jilatin lidahku. Sementara itu tubuhnya bergerak tanpa henti, membuat kontol-ku tenggelam habis dalam memek-nya.
Tak lama kemudian, dia membalikkan tubuhku. “Sekarang kamu di atas. Aku mau kamu buas.”
Aku langsung menindihnya, menghantam keras. Ranjang berderit hebat. Maya menjerit setiap kali aku menghantam dalam. “Ahhh… terus… jangan berhenti… lebih keras lagi…”
Aku membaliknya ke posisi doggy style, lalu menghantam memek-nya dari belakang. Bokongnya berguncang hebat, suaranya makin liar. Tanganku menepuk bokongnya keras, meninggalkan bekas merah. Dia hanya menjerit makin panas.
“Ahhh… jangan berhenti… aku mau gila…”
Aku menarik rambutnya, mencium pundaknya, lalu menghantam makin cepat. Basahnya memek membuat suara cipratan terdengar tiap kali kontol-ku keluar masuk.
Aku berhenti sebentar, lalu menurunkan tubuhku ke bawah. Dari belakang, aku jilatin memek-nya yang sudah banjir. Maya gemetar hebat, hampir jatuh ke ranjang. “Ya Tuhan… aku nggak tahan…”
Aku bangkit lagi, kali ini menempelkan kontol-ku ke anus-nya. Aku gesek pelan di sana. Maya menjerit kaget. “Ahhh… jangan di situ… tapi… coba pelan…”
Perlahan aku menekan, dan sedikit demi sedikit kepala kontol-ku masuk ke anus-nya. Maya menjerit lirih, tubuhnya tegang, tapi lalu mulai terbiasa. “Ohh… astaga… rasanya beda… tapi enak…”
Aku menghantam pelan, lalu makin dalam. Tubuhnya bergetar, keringat bercucuran. “Ahhh… kamu gila… kamu bikin aku gila…”
Setelah beberapa kali, aku kembali masuk ke memek-nya. Rasanya lebih sempit dan nikmat setelah berganti dari anus. Maya menjerit panjang, tubuhnya bergetar hebat.
Aku menghentak makin cepat, tubuhku hampir tak kuat menahan. “Aku mau ngecrot lagi…” bisikku.
“Dalam aja… kasih semua… aku mau penuh lagi…”
Dengan satu hentakan terakhir, aku ngecrot deras di dalam memek-nya lagi. Maya menjerit panjang, tubuhnya gemetar hebat, lalu terjatuh ke ranjang.
Kami berdua terkulai lemas, basah oleh keringat dan cairan bercampur. Napas terengah-engah, tubuh bergetar.
Maya menoleh padaku, tersenyum puas. “Kamu jangan cerita ke siapa pun… apalagi suamiku. Ini rahasia kita.”
Aku mengangguk, masih sulit bicara. Malam itu aku benar-benar merasakan nikmat terlarang, kenikmatan ngentot istri orang yang tak akan pernah bisa kulupakan.